Senin, 27 April 2009

Gangguan Stres Calon Wakil Rakyat yang Gagal *

Bagaimana nasib para calon anggota legislatif yang tidak mendapatkan suara memadai sehingga gagal menjadi wakil rakyat?"

Begitu pertanyaan publik, termasuk jurnalis, pada hari-hari belakangan ini. Pertanyaan yang sangat beralasan untuk diajukan. Pasalnya, pada dasarnya, tidak ada satu orang pun -baik politisi maupun bukan politisi- yang senang akan kegagalan. Sehingga, logika sederhana, tertutupnya peluang menduduki kursi parlemen akan memunculkan tekanan batiniah bagi para caleg.

Masalah stres sesungguhnya bukan persoalan yang hanya muncul pada masa sekitar pemilu. Situasi makro Indonesia sangat sarat akan sumber-sumber stres. Merujuk data statistik Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia melonjak delapan sampai sepuluh persen di antara total penduduk pada 2007. Jenis gangguan jiwa tertinggi adalah depresi, disusul gangguan kecemasan.

Penyebabnya adalah masalah demi masalah serius, baik pada skala nasional maupun global, yang datang susul-menyusul. Dari situ dapat dinalar bahwa masa-masa seputar pemilu akan memunculkan problem psikologis dengan derajat lebih tinggi ketimbang biasanya.

Stres sebenarnya tidak melulu diidentikkan sebagai pengalaman negatif. Faktanya, stres hingga derajat tertentu dibutuhkan oleh setiap individu, termasuk politisi. Dengan stres tersebut, individu terpacu untuk mengerahkan segala daya yang dimiliki untuk menyukseskan misinya. Itu bermakna bahwa stres justru meningkatkan produktivitas individu tersebut. Stres yang berefek positif semacam itu disebut eustress. Sebaliknya, apabila masa pemilu justru membuat anjlok performa si caleg, caleg tersebut mengalami distress (stres yang negatif).

Stres politisi tidak semestinya dikaitkan hanya dengan masa pascapemilu. Jauh sebelum penghitungan suara, masa-masa menjelang pemilu yang berisi berbagai aktivitas kampanye juga telah menghadirkan stres tersendiri di kalangan calon anggota legislatif.

Itu yang dialami, antara lain, oleh Puran Chand Yogi, anggota legislatif dari Partai Bharatiya Janata di India. Kendati telah berhasil memenangkan pemilu selama empat kali, Puran tetap tidak imun terhadap terpaan stres hebat. Diduga kuat, jadwal kampanye yang sangat tinggi menjadi sumber stres dahsyat pada diri Puran. Puran mengalami keterputusan emosional dari orang-orang terdekatnya.

Akibat terisolasi dan teralienasi secara psikologis, Puran mengalami kesepian, meski hari demi hari dia lewati di tengah-tengah kerumunan. Kondisi terasing semacam itu menjadi pintu masuk bagi depresi. Dan, episode tipikal selanjutnya, depresi menjadi gerbang bagi bunuh diri. Mengakhiri hidup, itu pula yang dilakukan Puran.

Apabila politisi sesenior Puran saja bisa menampilkan drama setragis itu, terlebih lagi politisi muda. Itu yang mencuat dari penelitian longitudinal Weinberg dan Cooper (2003). Mendukung kesimpulan bahwa tingkat stres para politikus nasional lebih tinggi daripada para pekerja umum yang menduduki posisi manajerial, Weinberg dan Cooper juga menemukan adanya ritme stres para anggota legislatif Inggris yang baru memasuki parlemen untuk kali pertama.

Stres para wakil rakyat tersebut meningkat sejak prapemilu hingga tiga bulan setelah terpilih. Setelah satu tahun memangku jabatan, stres psikis para pendatang baru itu kembali ke level seperti masa prapemilu. Namun, stres fisik tetap bertahan tinggi pada para wakil rakyat yang berjenis kelamin laki-laki, telah memiliki anak, dan merupakan anggota partai politik dari pemerintahan yang sedang berkuasa.

Hasil riset tersebut memperkuat temuan Weinberg dan Cooper pada 2000. Berdasar riset mereka, diketahui bahwa dalam kurun enam bulan setelah memasuki kantor legislatif, para politikus terpilih melaporkan meningginya stres yang mereka alami. Tanda-tandanya adalah menurunnya rasa percaya diri, gangguan tidur, minum dan makan terlalu banyak, merasa ketegangan terus-menerus, serta menunjukkan motivasi kerja yang menurun.

Penyebab stres para politikus itu meliputi beban kerja yang tinggi, jam kerja yang panjang, tingginya frekuensi perjalanan dinas, serta minimnya waktu kumpul bersama keluarga dan teman-teman karib.

Solusi

Lantas, bagaimana membantu para caleg agar dapat terhindar dari stres? Itu pertanyaan utopis. Sebab, tidak ada satu orang pun yang dapat terbebas dari stres. Karena stres tidak melulu berkonotasi negatif, pertanyaan tadi seharusnya diubah menjadi ''bagaimana membantu para caleg agar dapat mengelola stres mereka?"

Para ilmuwan psikologi merekomendasikan pentingnya peningkatan kualitas sekaligus penyederhanaan mekanisme interaksi antara rakyat dan para wakilnya di parlemen. Berbagai sumber stres seperti tersebut dalam penelitian Wienberg dan Cooper dapat diatasi jika rekomendasi pertama itu bisa direalisasikan. Apa pun caranya, baik berbasis elektronik maupun tatap muka langsung, kunci keberhasilan langkah tersebut terletak pada kepercayaan konstituen terhadap para wakilnya.

Aturan-aturan tentang induksi bagi para anggota parlemen yang baru juga perlu dibenahi. Tidak hanya menyangkut aspek substansi dan koordinasi kerja, tetapi juga penyiapan kondisi psikologis para wakil rakyat itu sendiri. Hal tersebut berimplikasi pada perlunya penyediaan fasilitas pendukung kesehatan kerja bagi para anggota legislatif.

Apabila dicermati ulang, rentetan rekomendasi di atas diselenggarakan sebagai inisiatif atau program eksternal bagi para politikus. Tanpa mengesampingkan nilai penting elemen-elemen eksternal tersebut, yang terpenting adalah kesiapan mental para politikus sendiri (faktor internal).

Itu yang, setidaknya, dapat digarisbawahi dari pengalaman kandidat Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik, Sarah Palin. Meski hasil detektor suara menunjukkan Palin memiliki tingkat stres tertinggi dibandingkan para calon presiden dan wakil presiden AS lainnya pada pemilu 2008, para pengamat juga melihat bahwa pada saat yang sama, Palin sangat terampil menguasai diri (stres)-nya.

Jeff Bailey (2009) menyatakan, Palin menggunakan sekian banyak strategi penanggulangan stres. Apa pun strategi yang Palin terapkan, semuanya bersumber pada kesadaran diri emosional (emotional self-awareness) yang tinggi, kejelasan akan tujuan hidup, serta kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap sejumlah tekanan pada waktu yang sama.

Palin juga menghayati dengan baik nilai-nilai hidup pribadi dan keluarga. Keyakinannya akan kekuatan Tuhan sangat teguh, yang didemonstrasikannya lewat kebiasaan berdoa. Tidak hanya berambisi tinggi, Palin menikmati setiap momen kompetisi. Ringkas kata, bagi Palin, menjadi politikus adalah panggilan hidup yang luhur sebagai seorang manusia. Menjadi politikus adalah manifestasi internal locus of control seorang Palin.
*Reza Indragiri Amriel, dosen psikologi kepribadian Universitas Bina Nusantara, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar